Thursday 7 March 2013

Pasal 44 KUHP


di dalam Bab III KUHP tentang Hal-hal yang menghapuskan, mengurangi atau memberatkan pidana terdapat pasal 44  yang tertulis sebagai berikut :
(1) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
(2) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit , maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.
(3) ketentuan dalam ayat (2) hanya berlaku bagi Mahkamah agung , pengadilan tinggi, dan Pengadilan negeri.
ada pengalaman yang ditemui dilapangan, seorang laki-laki yang cukup berumur (50 tahun) telah melakukan pembunuhan terhadap seseorang dengan cara dimutilasi tubuh korbannya menjadi beberapa bagian.
setelah ditangkap oleh polisi dengan dasar petunjuk yang kuat dan beberapa bahan keterangan yang dijadikan sebagai alat bukti, maka dilakukan penahanan. Dari keterangan pelaku , dia mengaku melakukan pembunuhan tersebut karena sedang melakukan pendalaman ilmu kebathinan sehingga dia mendapat bisikan-bisikan untuk melakukan perbuatan sadis tersebut. penyidik polisi selanjutnya membawa pelaku tersebut ke rumah sakit jiwa untuk diperiksa kejiwaannya dan hasil yang didapatkan bahwa pelaku tersebut mengidap penyakit jiwa. walaupun begitu , penyidik polisi tetap mengajukan proses selanjutnya ke jaksa. menurut jaksa , pelaku mutilasi  tersebut tidak dapat dituntut secara pidana dengan pertimbangan pasal 44 KUHP . penyidik kemudian mengajukan argumentasi : jadi pelaku tersebut harus dilepaskan karena pasal 44 KUHP itu ?  sang jaksa tidak bisa menjawab secara pasti. akhirnya penyidik polisi mencoba mencari tahu tentang keadaan pelaku sebenarnya. Pada suatu hari , penyidik polisi melihat ke ruang sel dimana pelaku berada. kunjungan tersebut dilakukan tidak secara khusus diarahkan ke pelaku tetapi kunjungan untuk melihat keadaan sel penjara mulai kebersihannya, makan para pelaku , kesehatan pelaku dan lain-lain. ketika penyidik polisi melewati ruang sel pelaku pembunuhan mutilasi tersebut , disapa lah si pelaku ..." sudah makan pagi pak ? ..di jawab pelaku : " sudah Pak",
Polisi : " kok , rokoknya patah ? "...pelaku : "ya ni pak mau merokok".....Polisi :" ga boleh merokok " , nanti ruang ini terbakar". setelah itu penyidik polisi keluar dengan segudang pertanyaan di kepalanya, bagaimana si pelaku bisa dikatakan gila ,kelihatannya dia normal.
Dari peristiwa didalam sel tersebut, kemudian polisi meminta jaksa datang ke kantor polisi untuk melakukan wawancara singkat terhadap si pelaku. Dari situ , sang jaksa baru yakin bahwa dia sebenarnya tidak gila.
Setelah sekian lama ditangan jaksa sesuai KUHAP, waktunya tiba dilakukan sidang di pengadilan negeri. ketua pengadilan yang melihat berkas pembunuhan mutilasi tersebut awalnya tetap berpedoman keterangan dokter yang mengatakan bahwa si pelaku gila. untuk meyakinkan ketua pengadilan bahwa kasus tersebut layak disidangkan dan dapat dijatuhi hukuman pidana, sekali lagi penyidik polisi mengajak ketua pengadilan dan jaksa berkunjung ke Lapas untuk melakukan wawancara terhadap si pelaku.
setelah wawancara , akhirnya Ketua pengadilan yakin bahwa si pelaku tidak gila. dan disitulah terungkap bahwa pelaku berpura-pura gila karena ketika di sel penjara kantor polisi dia ketemu seseorang yang mengajari jika ingin lolos dari jeratan hukum maka harus jadi orang yang dianggap gila.
Ini kisah nyata , sengaja nama-nama tidak disebutkan.
kesimpulannya : jadilah penyidik yang profesional , dengan hati bersih dan selalu dapat memahami permasalahan secara jernih serta tanpa pamrih, semoga Allah SWT selalu menunjukkan jalan terang bagi kita semua.